Akhirnya kini aku telah berada di tempat persinggahanku yang baru. Begitu cepat sekali waktu bergulir menorehkan keabadian kenangan yang terus memenuhi kotak sanubariku. Di sinilah aku akan memulai segalanya. Teman baru, lingkungan baru dan segala hal yang baru.
Rasanya aku belum bisa percaya dengan semuanya, meskipun ini nyata tapi aku merasa bahwa aku belum sadar dari petualangan mimpi yang kurajut selama ini. Begitu sulitnya misteri takdir ini kuterka hingga kini telah membawaku terbang jauh melintasi bayang-bayang asa yang selalu kutunggu beroksioma.
“Fa…..” guncangan tangan itu telah menyadarkanku dari alam lamunanku.
“Eh iya…ada apa?”
“Dari tadi senyam-senyum sendiri, kenapa? Akang mau pamit.”
“Kok cepet banget kang?”
“Kan akang tadi udah bilang, setelah ngantar kamu ke tempat cost, habis shalat jum’at akang langsung pulang.”
“Mm…, iya deh hati-hati ya…, salam buat abah dan emak.”
Kang Yahya mengulukkan salam seraya berlalu dengan melambaikan tangan. Kang Yahya adalah kakakku, kakak yang kumiliki satu-satunya. Usianya 5 tahun lebih tua dariku.
Kini aku masih terpaku di depan daun pintu menatap kepergian akangku hingga bayangannya pun tak lagi nampak, lenyap seketika dibalik gerbang yang terhalang tembok rumah ini.
Tak berapa lama kulihat kepergian kang Yahya dari jangkauan mataku, kini dari jarak 100 meter dari tempatku berdiri, berhenti sebuah mobil berwarna silver. Satu persatu penumpangnya turun, kulihat ada seorang pria berbadan tegap dengan pakaian yang necis berkaca mata hitam, perempuan berjilbab yang wajahnya bersih tengah menggendong putrinya dan seorang lagi cewek berambut sebahu yang mengenakan t-shirt serta celana jins pendek tengah menurunkan tas punggung yang disandangnya. Mereka berjalan menuju kediaman ibu cost. Hanya itu yang ku tau, selebihnya….aku tak mau tau dan beranjak masuk dalam kamarku.
Kututup pintu kamar rapat-rapat, aku hanya membuka satu jendela yang dihadapannya terpasang kawat jendela. Sinar mentari sangatlah terik di luar sana, namun sesekali hembusan angin bertiup menyelinap lewat celah-celah kamar ini.
Aku kembali membuka tas ransel dan tas jinjing yang kubawa dari rumah, kupindahkan semua isinya agar menempati lemari kosong yang telah tersedia. Sejenak aku menghentikan aktivitasku, kupandangi kabinku yang baru ini, semua peralatan di dalam kabin ini ada dua, lemari, tempat tidur, meja belajar dan kursinya, hanya saja tak sekalian dengan kamar mandinya yang letaknya diluar yang jumlahnya lebih dari dua. Keseluruhan dindingnya telah bertembok bercat biru muda dan cat hitam yang hanya menempel pada kayu jendela serta daun pintu, keramiknya pun berwarna biru. Tempat tidur masih tertata rapi lengkap dengan dua bantal, bantal alas kepala dan bantal guling serta satu selimut tebal yang juga berwarna biru.
Aku menghela nafas, semua yang ada begitu sangat kontras dengan apa yang kumiliki di rumah. Di sini sepertinya aku akan hidup jauh lebih nyaman dengan fasilitas yang lebih dari fasilitas sederhana untukku. Jika aku tak ikut memikirkan tentang semua biaya hidupku disini, itu sama saja bahwa aku adalah manusia yang kejam, tapi bagaimana caranya aku bisa mendapatkan pekerjaan dalam waktu secepat ini, tempat ini adalah tempat yang asing bagiku, sama sekali belum kukenal.
Baru saja aku mulai tenggelam dalam anganku, terdengar suara ketukan pintu yang membuatku terjingkat. Suara ulukkan salam itu begitu halus. Aku lekas berdiri dan membukakan pintu. Aku tertegun dan tak yakin, jika ternyata yang kini berdiri dihadapanku adalah orang yang tadi turun dari mobil berwarna silver itu.
“Syifa, ini teman satu kamarmu.” Ucap ibu cost membuka pembicaraan.
Gadis berambut sebahu itu menatapku dengan senyumnya sembari mengulurkan tangannya “Hai…, namaku Savira.”
Kusambut uluran tangannya “Hai…juga, namaku Syifa.”
Setelah bersalaman dengannya, akupun menyalami wanita berjilbab yang berdiri di sebelahnya. Setelah meletakkan semua tas yang dibawa Vira, keluarganya berlalu meninggalkannya. Kini yang ada didalam kamar hanyalah kami berdua.
Aku kembali sibuk dengan aktivitasku memindahkan isi tasku, sedangkan Vira langsung merebahkan dirinya diatas tempat tidur.
“Kamu datang dari mana Vir?” aku mencoba memecahkan kebisuan yang menyelinap diantara kami.
“Dari Jakarta, kamu sendiri?”
“Aku dari Demak. Hendak kuliah dimana?”
“Alhamdulillah di UGM, kalau kamu? Oh iya kamu datang jam berapa?” Vira nampak gusar memencet tombol HPnya dengan keras.
“Aku sampai disini sekitar pukul 10.00 WIB, Alhamdulillah aku juga di UGM.”
“Sialan banget sih ni orang.” Vira nampaknya marah, aku terperanjat. Melihat tingkahku demikian Vira langsung menutup mulutnya dengan telapak tangannya “Ups, sorry Fa, bukan kamu kok, ini temenku resek banget.”
“Ya nggak pa-pa.”
Vira menata posisinya dan duduk bersila masih diatas tempat tidurnya masih asyik memencet-mencet tombolnya. Aku sendiri masih asyik memindahkan isi tasku yang belum juga selesai.
Sesekali Vira merasa geram sendiri. Begitulah kecanggihan suatu tekhnologi yang tak dapat dipungkiri, terkadang bisa membuat orang tersenyum sendiri, terkadang juga membuat geram. Suasana seketika menjadi hening.
“Fa, kamu pakai jilbab dari kelas berapa?” Tanya Vira tiba-tiba memcah kesunyian.
“Sejak awal SMP aku sudah mengenakannya.”
”O…gitu, berarti udah lama banget ya. Aku sebenarnya pingin banget pakai
Jilbab, tapi…” Vira menghentikan kata-katanya, terdengar suatu kebimbangan dari nada suaranya.
“Tapi kenapa Vir?” tanyaku kemudian.
Vira tak memberikan jawaban apapun dan hanya mengatakan “Aku akan katakan suatu hari nanti.” Sembari nyengir sendiri.
Aku hanya memandanginya sekilas, setiap orang pasti memiliki alasan masing-masing untuk berjilbab. Layaknya Vira yang baru saja kukenal hari ini. Kini aku telah selesai mengeluarkan seluruh isi tas. Aku kini memilih untuk duduk dikursi yang menghadap kearah jendela. Kubiarkan mata ini memandangi pohon mangga yang tumbuh dengan begitu ranum dan tinggi yang berada di tengah halaman rumah ini.
Kupalingkan pandangi pada Vira yang telah terlelap dalam alam tidurnya. Di sudut tempat tidurnya nampak sebuah gitar bertengger disana. Semoga saja Vira bisa menjadi sahabatku kelak. Seutas do’a kini terajut dalam batinku.
Dalam kesendirianku siang ini, entah mengapa aku jadi teringat peristiwa tadi ketika aku hendak berangkat. Aku sangat merindukan abah dan emak begitupun tanah kelahiranku, cepat sekali semua terjadi.
* * *
Di bawah sinar bulan yang terang, aku duduk bersandar pada dinding di selasar kamar baruku ini. Aku termenung, tengadah menghadap langit. Sanubariku seakan merintih, berselimut kelam yang membalut sukmaku yang secara tiba-tiba menyapaku. Aku tak kuasa menahan pilu, menahan nestapa yang mulai menggelayutiku. Sesekali kucoba menatap hiasan angkasa, nampak diatas cakrawala sana, bintang-bintang, bulan dan hiasan angkasa lainnya yang masih tersenyum menyapa dan menghiburku dengan gemerlap cahayanya pada gelapnya malam.
Aku masih terpaku disudut malam yang menggelora, menanti karubin memberikan aksioma yang terbaik, memudarkan kelamku dan bersedia mengembalikan lukisan pelangi dihatiku yang perlahan sirna.
“Sendirian aja Fa? Kenapa kok murung.” Vira mendekatiku dan duduk didekatku..
“Eh kamu Vir, nggak kenapa-kenapa.” Aku kembali melemparkan pandanganku kearah trotoar.
“Bintang-bintangnya terlihat indah ya. Bulan juga nampak terang dan muncul sempurna. Kayaknya kamu belum istirahat deh dari tadi.”
“Kok tau???”
“Cuma mengira aja. Fa boleh nggak aku main gitar, itung-itung menghibur kamu juga.” Vira terlihat setengah memohon.
“Tentu.”
Dengan cepat Vira masuk kedalam kamar dan mengambil gitar yang ditaruhnya disudut tempat tidurnya.
Kini dia telah kembali berada disampingku dan mulai memetik senar gitarnya. Suaranya sangat merdu. Meskipun aku tak tau lagu apa yang tengah dialunkannya namun lagu berbahasa inggris itu kumengerti maknanya dan kegundahan dihatiku pun serasa luruh seketika.
“Kamu kesini dengan siapa Fa?” tanyanya kemudian setelah berhenti menyanyi dan memainkan senar gitarnya.
“Dengan kakakku.”
“Kakakmu kuliah juga?”
Aku mendesah cukup panjang “Ng…gak, kakakku bekerja di sebuah pabrik di kota Demak. Kalau dia mau mengambil beasiswa itu, mungkin sekarang sudah jadi sarjana. Tapi…begitulah dia adanya, tak bisa diselami jalan fikirannya.”
“Wah sayang dong, padahal dapat beasiswa itu kan tidak mudah. Tapi…kemungkinan kakakmu punya alasan yang kuat mengapa menolak beasiswa itu.”
“Hm…kamu benar Vir, dia punya alasan tersendiri. Kakakku bilang bahwa dia nggak mau jauh dari orang tua, nggak mau nambah beban buat keluarga. Meskipun mendapat beasiswa tapi kan nggak sepenuhnya terbebas dari biaya hidup. Sedangkan kondisi perekonomian keluarga kami tidaklah memungkinkan.”
“Aku nggak ngerti dengan apa yang kamu katakan. Tapi bukannya kamu bisa kuliah kan???”
“Abahku hanyalah bekerja sebagai petani yang mengurusi sawahnya sendiri, sawah itupun hanya beberapa hektar saja, sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga, kadang ibu membantu abah di sawah. Keuangan ekonomi keluarga hanya bergantung pada hasil panen. Kalau cuacanya bagus ya hasilnya lumayan, tapi kalau musim hujan yang berlarut-larut hingga sampai banjir atau pas kemarau panjang atau bahkan kalau hama menyerang juga hasilnya kan tidak semaksimal yang diharapkan. Aku alhamdulillah bisa kuliah juga karena beasiswa kok Vir.”
Vira manggut-manggut mendengarkan penjelasanku “Kau hebat Fa. Jadi karena itu kakakmu mutusin nggak mengambil beasiswa yang diperolehnya? Bukannya cowok itu lebih gampang dari cewek. Cowok itu kan makhluk yang tahan banting. Setidaknya kan bisa kuliah sambil kerja.”
“Hampir semua orang juga menyarankan seperti itu, tapi itu sudah menjadi kehendaknya. Oh iya, kamu kenapa bilang aku hebat?”
“Karena kamu diterima di Universitas ini tanpa mengeluarkan biaya, padahal untuk bisa mengenyam pendidikan di UGM itu kan tidak mudah selain diperlukan otak yang berkualitas tapi juga biaya yang terbilang sangat besar. Aku pun sampai jatuh bangun ketika berusaha ingin mendapatkan mendapatkan bangku di UGM, saingannya dari berbagai wilayah di tanah air dan aku juga masih harus memikirkan biayanya juga. Kalau cuma main harta otaknya nggak nyala juga nggak bakalan bisa, beda kalau otaknya cemerlang, tanpa biaya pun kita masih bisa. Maaf Fa, aku nggak bermaksud menyinggung perasaanmu.”
“Nggak kok, aku nggak merasa tersinggung sama sekali. Makasih ya atas semangat yang kamu berikan.”
Vira ternganga mendengar kata-kataku “Semangat….maksud kamu???”
Aku jadi geli melihat ekspresi Vira yang sebegitu lucunya “Aku itu minder banget sebenarnya, tapi kamu malah ngasih aku semangat yang tak terduga.”
Kami pun tersenyum bersama saat mata kami beradu tanpa sengaja. Sebuah hari yang sangat menyenangkan yang mengawali pertemanan diantara kami.
“Dari sekolahmu ada berapa orang yang diterima di UGM?” tanyanya lagi.
“Kalau untuk tahun ini aku cuma sendiri, tapi kalau dari tahun sebelumnya aku kurang tau. Yang aku tau cuma dua tahun yang lalu memang ada sih kakak kelas yang juga mendapat beasiswa disini, namanya Muhammad Abas Mahendra. Aku biasa memanggilnya kak Abas orangnya memang cerdas, maaf beda lho antara pandai dan cerdas.”
“Mm…kalau dua tahun yang lalu, berarti sekarang udah sekitar semester empat dong.” Vira meletakkan jarinya di dagunya sambil memeluk lututnya “Eh iya Fa, kakakmu dapat beasiswa di UGM juga sepertimu atau di Universitas mana? Kenapa nggak dicoba lagi.” Vira nampak jadi gregetan juga mendengar ceritaku tadi.
“Kamu ini…” aku jadi tersenyum simpul mendengar kalimatnya barusan “Bukan di UGM tapi kalau di Jogja sih iya. By the way yang dapat beasiswa itu kan kakakku, tapi kenapa kamu yang jadi uring-uringan gini sih.”
“Lho emangnya nggak boleh.” Vira nampak membela dirinya.
Kami pun akhirnya kembali melepas tawa dipelayaran malam ini, padahal seebelum kehadirannya di sampingku tadi, aku sempat merasakan lelah dengan hari ini, namun begitu dia datang dan bernyanyi untukku, semua seakan terhempas jauh entah kemana.
Vira merangkulku “Fa, cari makan yuk, aku laper nich.” Tampangnya terlihat begitu memelas.
Kutengok jam dinding kamar yang baru menunjukkan pukul 19.00 WIB “Ok, let’s go.”
Kami pun pergi meninggalkan tempat peraduan kami, berhubung para tetangga cost kami belum pada datang alias masih sepi dan penghuninya yang masih ada hanya dua kamar saja, satu kamarku dan Vira sedangkan kamar yang lain dihuni oleh dua cewek yang dari tadi belum kujumpai batang hidungnya. Makanya kami hanya bisa pergi berdua, tapi jangan mikir yang macam-macam ya…kita masih normal kok he...he…he.
Kami melihat-lihat suasana malam kota Jogja yang tepatnya kini kami berada di POGONG, kami mencoba berjalan-jalan sembari melihat-lihat dari luar mengenai Universitas yang sebentar lagi akan menjadi ruang yang mengijinkan kami menjadi penghuninya. Ada percikan kebahagiaan yang akhirnya kini kutemukan. Mungkinkah sang karubin tadi telah mendengarkan pintaku dan mengembalikan lukisan pelangi yang sedari tadi kurasakan mulai sirna???.
Hembusan angin malam kini membelaiku dengan kelembutannya, lampu-lampu jalanan serasa telah memberikanku kekuatan. Sungguh indah kurasakan hari pertama menjelajahi kota Jogja.
“Fa, kebayang nggak sih, kalau takdir itu begitu sangat indah bila kita tak pernah mengetahuinya.” Vira melentangkan tangannya sembari berjalan di pinggiran trotoar “Baru kali ini aku benar-benar merasa bahagia dan bisa merasakan hidup yang selama ini aku inginkan.” Vira meninggikan suaranya karena suara ingar-bingar angkutan yang berlalu lalang.
“Maksud kamu apa Vir??” kali ini aku pun ikut meninggikan suaraku karena keadaan yang bising yang tak dapat kuredam.
“Kalau kita mengetahui bagaimana takdir berbicara, kita takkan mungkin bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan secara tiba-tiba, kita takkan bisa menikmati alur cerita yang telah terangkai dengan cara dan usaha kita. Aku bahagia bisa bertemu denganmu, semoga kita bisa bersahabat ya.” Vira menggenggam tangannya dan membiarkan jari telunjuknya masih tetap berdiri, kusambut jari telunjuk itu dan kami pun menyatukan jari telunjuk kami.
Malam ini aku benar-benar bisa mengukir banyak cerita indah yang kudapati. Malam ini pula yang menjadi saksi persahabatanku dengan Savira, gadis tomboy yang masih menjadi misteri untukku. Sungguh indah nian jika kita memiliki seorang sahabat. Saat ini wajahku masih bisa melukiskan tawa namun tidak pada hatiku, dalam hati ini kutitihkan air mata kepedihan. Sejatinya aku memang tak bisa memungkiri bahwa aku membutuhkan seseorang untuk menjadi sahabat. Tapi dengan memiliki sahabat kembali, aku selalu teringat akan Ita, sahabatku yang kini tak dapat kujumpai lagi. Andai saja peristiwa itu tak pernah ada, mungkin persahabatan kami masih akan terukir hingga kini dan sampai akhir hayat nanti.
Ternyata aku kurang tangkas dalam memahami situasi. Vira kini berhasil membaca keadaan dengan melihat mataku yang tengah berkaca-kaca.
“Kamu kenapa Fa? Apa kamu nggak suka bersahabat denganku?” tanyanya seakan ia telah membuat kesalahan.
“Tidak Vir, aku bahagia bertemu denganmu, dan kau mau menerimaku sebagai sahabatmu, mengingat diriku yang…”
Vira lekas memotong perkataanku “Persahabatan tidaklah diukur dari materi atau apapun, namun persahabatan adalah suatu ketulusan dari hati.” Vira meletakkan
(by dwi nuraini)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar